Beranda | Artikel
Beberapa Nasihat Emas Syaikh Shalih al-Fauzan
Sabtu, 22 Februari 2014

0c0fe303776a4f1c8bb8e4cae61869a6

Nasihat Ke-1: Tidak Boleh Fanatik Buta

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya:

 

Apa hukum orang yang mencintai seorang alim/ulama atau da’i lalu dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sangat mencintai beliau. Aku tidak senang mendengar siapa pun yang melontarkan bantahan kepadanya. Aku akan selalu mengambil pendapat/ucapan-ucapannya; meskipun bertentangan dengan dalil. Karena syaikh ini tentu lebih mengetahui dalil daripada kita’?

Beliau menjawab:

Ini adalah ta’ashshub/sikap fanatik yang dimurkai dan tercela. Ini perbuatan yang tidak diperbolehkan. Kita mencintai para ulama tentu saja -segala puji bagi Allah- kita juga mencintai pada da’i yang berjalan di atas jalan Allah ‘azza wa jalla.

Akan tetapi apabila salah seorang dari mereka melakukan suatu kekeliruan dalam suatu masalah, maka semestinya kita menjelaskan yang benar dalam hal itu dengan landasan dalil. Dan hal itu tidaklah menyebabkan berkurangnya rasa cinta kita kepada orang yang dibantah dan tidak pula merendahkan kedudukan beliau.

Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Tidaklah ada seorang pun diantara kita ini kecuali bisa menolak dan bisa ditolak pendapatnya. Kecuali orang yang menghuni kubur ini.” Yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Apabila suatu saat kami membantah sebagian ulama dan sebagian orang yang memiliki keutamaan/tokoh agama. Bukanlah itu artinya kami membenci atau merendahkan kedudukan beliau. Hanya saja kami punya kewajiban untuk menerangkan kebenaran. Oleh sebab itu, sebagian ulama berkata ketika ada sebagian sahabatnya yang melakukan suatu kekeliruan, “Si Fulan adalah orang yang kami cintai. Meskipun demikian, kebenaran jauh lebih kami cintai daripada beliau.” Inilah metode yang benar.

Janganlah kalian memahami dari adanya bantahan kepada sebagian ulama dalam suatu permasalahan yang dia keliru padanya kemudian dimaknakan sebagai bentuk perendahan kepada dirinya atau suatu kebencian. Bahkan, para ulama sejak dahulu senantiasa memberikan bantahan/kritikan satu sama lain, sementara mereka tetap dalam keadaan menjalin persaudaraan dan saling mencintai satu sama lain.

Kita tidak boleh mengambil dengan serta merta semua pendapat yang dilontarkan oleh seseorang tanpa pertimbangan apapun, baik dia dalam kebenaran atau kesalahan. Sebab ini adalah tindakan fanatisme/ta’ashshub. Orang yang harus diambil semua ucapannya dan tidak boleh ditinggalkan sedikit pun darinya hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena beliau adalah orang yang menyampaikan wahyu dari Rabbnya. Beliau tidak pernah berbicara dari hawa nafsunya sendiri. Adapun selain beliau, maka mereka bisa salah dan bisa juga benar. Walaupun mereka itu adalah termasuk jajaran manusia yang paling utama. Mereka -para ulama- itu adalah mujtahid; yang bisa benar tapi juga bisa salah.

Tidak ada seorang pun yang terjaga dari kesalahan kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang harus kita pahami. Kita tidak boleh berupaya menyembunyikan kesalahan hanya gara-gara rasa segan kita kepada si fulan misalnya, bahkan seharusnya kita terangkan kesalahan itu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama ini adalah nasihat.” Kami -para sahabat- pun bertanya, “Untuk siapa?”. Beliau menjawab, “Untuk -beriman- kepada Allah, kepada Kitab-Nya, Rasul-Nya, dan nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin serta orang-orang biasa diantara mereka.” (HR. Muslim)

Menerangkan kekeliruan adalah termasuk bentuk nasihat bagi semua orang. Adapun menyembunyikan kekeliruan maka ini adalah tindakan yang bertentangan dengan nasihat.

[lihat Ajwibah al-Mufidah ‘an As’ilah al-Manahij al-Jadidah, hal. 163-164]

Nasihat Ke-2: Tidak Cukup Dengan Pengakuan Semata

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata:

Islam yang sahih pada masa sekarang ini adalah terasing. Adapun islam yang hanya sekedar pengakuan, maka lihatlah jumlah umat Islam sekarang ini. Jumlah mereka lebih dari 1 milyar. Meskipun demikian Islam yang sahih itu telah mengalami keterasingan.

Karena seandainya jumlah 1 milyar umat ini mereka berada di atas Islam yang sahih/jernih niscaya tidak ada seorang pun [umat manapun] di dunia ini yang berani menghadapi mereka!! Lihatlah, orang-orang Yahudi -yang mereka itu adalah saudara dari kera-kera dan babi-babi- suatu kaum yang telah ditimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan [oleh Allah]. Bukankah saat ini mereka ‘menguasai’ berbagai negeri kaum muslimin.

Bandingkanlah dengan kaum muslimin yang bersama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Badar. Ketika itu jumlah mereka hanya sekitar tiga ratus belasan orang. Saksikanlah apa yang berhasil mereka lakukan?

Para sahabat dibandingkan dengan seluruh penduduk bumi; berapa jumlah mereka? Meskipun demikian [yaitu mereka sedikit, pent], mereka berhasil menaklukkan berbagai kota dan negeri. Mereka pun berhasil menundukkan Kisra dan Kaisar.

Mereka sanggup untuk memimpin seluruh dunia. Hal itu dikarenakan mereka berada di atas Islam yang sahih/jernih dan lurus, bukan Islam yang berhenti pada pengakuan belaka.

[lihat Syarh Tafsir Kalimah at-Tauhid, hal. 32]

Nasihat Ke-3: Kewajiban Mengikuti Jalan Generasi Terbaik

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan:

Maka mereka itu -sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in/salafus shalih, pent- adalah teladan bagi umat ini. Dan yang dimaksud manhaj mereka ialah jalan yang mereka berjalan di atasnya; yaitu dalam hal akidah mereka, dalam hal mu’amalah mereka, di dalam akhlak mereka, dan dalam segala urusan mereka. Itulah manhaj yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah. Karena begitu dekatnya mereka -salafus shalih- dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan karena kedekatan mereka dengan masa turunnya wahyu. Dan karena mereka mengambilnya langsung dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu mereka menjadi generasi yang terbaik, dan manhaj/jalan mereka adalah sebaik-baik jalan…

[lihat Manhaj as-Salaf ash-Shalih wa Haajatul Ummah Ilaih, hal. 2-3]

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga mewasiatkan:

Barangsiapa yang menginginkan keselamatan wajib atasnya untuk mengenali madzhab salaf dan berpegang teguh dengannya, serta mendakwahkan kepadanya. Inilah jalan keselamatan. Ia laksana bahtera Nuh ‘alaihis salam; barangsiapa menaikinya maka dia akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal darinya pasti binasa dan tenggelam dalam kesesatan. Oleh sebab itu tiada keselamatan bagi kita kecuali dengan madzhab salaf.

Dan tidak mungkin kita mengerti madzhab salaf kecuali dengan belajar [baca; ngaji], yaitu menimba ilmu, mengajarkan, dan mengkajinya. Di samping itu, kita juga harus senantiasa memohon kepada Allah, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka.” Yaitu kita memohon kepada Allah agar selalu memberikan taufik kepada kita untuk berjalan di atasnya [jalan yang lurus] dan meneguhkan kita di atasnya.Inilah yang harus kita lakukan.

Bukanlah yang menjadi permasalahan itu perkara pengakuan -mengaku ahlus sunnah atau pengikut salaf, pent- sebab ‘pengakuan yang tidak ditopang dengan bukti-bukti itu hanya akan jadi omong kosong belaka’ [kata pepatah arab, pent]. Jadi, bukanlah yang menjadi sumber masalah adalah persoalan intisab/penyandaran diri. Sedangkan Allah jalla wa ‘ala menyatakan (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengikuti mereka [sahabat] dengan ihsan/baik.” (QS. At-Taubah: 100). Artinya -mengikuti- dengan itqan/mapan dan benar. Dan anda tidak akan bisa mapan dan benar dalam meniti madzhab salaf kecuali apabila anda mengenali dan mempelajarinya. Dan anda tidaklah [disebut] berpegang teguh dengannya kecuali apabila anda bersabar di atasnya…

[lihat Manhaj as-Salaf ash-Shalih wa Haajatul Ummah Ilaih, hal. 11]

Nasihat Ke-4: Akibat Tidak Serius Dalam Mendakwahkan Tauhid

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya:

Sering kami dapati orang-orang yang menyeru manusia kepada tauhid di berbagai negara Islam justru berpecah-belah dan terbagi menjadi berkelompok-kelompok. Sementara mereka semua mengajak kepada tauhid, sungguh memprihatinkan; padahal [bukankah] akidah itu akan mewujudkan persatuan dan bukan malah memecah-belah?

Beliau menjawab:

Menurut saya, hal ini tidak benar. Saya tidaklah mengira bahwa orang-orang yang suka berpecah-belah itu mengajak kepada tauhid. Sebab seandainya mereka menyeru kepada tauhid niscaya mereka tidak akan berpecah-belah. Akan tetapi sesungguhnya mereka itu adalah mengajak kepada pemikiran-pemikiran dan jalan-jalan [yang menyimpang, pent]. Masing-masing punya jalan sendiri. “Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada diri mereka.” (QS. al-Mu’minun: 53 dan ar-Ruum: 32).

Sebab pada hakikatnya, seandainya mereka itu berdakwah kepada tauhid dengan cara dakwah yang benar pastilah mereka akan bersatu dan berkumpul. Karena tauhid itulah yang menyatukan orang-orang terdahulu sebelum kita, dan tauhid itu pula yang bisa menyatukan kita dan menyatukan orang-orang setelah kita. Sesungguhnya kebodohan tentang tauhid, atau karena ketidakseriusan dalam memperhatikan masalah [tauhid] ini, itulah sebenarnya faktor yang memecah-belah para da’i.

[lihat Mazhahir Dha’fil ‘Aqidah Fi Hadzal ‘Ashr, hal. 31]

Nasihat Ke-5: Buah Keikhlasan Di Dalam Dakwah

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata:

… Tidaklah diragukan bahwasanya keikhlasan seorang da’i memiliki pengaruh yang kuat terhadap mad’u/objek dakwah. Apabila seorang da’i itu adalah orang yang ikhlas dalam niatnya. Dia juga menyeru kepada manhaj yang benar. Dia membangun dakwahnya di atas bashirah/hujjah dan ilmu mengenai apa yang dia serukan itu. Maka dakwah semacam inilah yang akan memberikan pengaruh/bekas kepada para mad’u.

Adapun apabila dia tidak ikhlas dalam dakwahnya, yaitu sebenarya dia hanya mengajak kepada dirinya sendiri, atau mengajak kepada hizbiyyah/fanatisme kelompok, atau menyeru kepada jama’ah yang menyimpang, atau ajakan kepada ‘ashobiyah/fanatisme suku atau bangsa tertentu -bahkan meskipun diberi nama dengan label-label Islam- maka yang semacam ini tidaklah memberi manfaat sama sekali. Bahkan hal itu bukan termasuk dakwah kepada Islam sedikit pun.

Demikian pula, apabila dia termasuk orang yang mengajak manusia kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi dia sendiri tidak mengamalkan apa-apa yang dia dakwahkan. Maka hal ini juga termasuk faktor yang menyebabkan orang-orang lari meninggalkan dirinya. Allah ta’ala maha mengetahui apa yang ada di dalam hati. Allah juga mengetahui apa pun yang dilakukan seorang insan di tempat mana pun ia berada.

Apabila dia menjadi orang yang berterus-terang menyelisihi dan menentang Allah di saat sedang berada dalam kondisi sendirian/tidak bersama orang lain, lalu apabila dia berhadapan dengan manusia dia mengajak orang kepada kebaikan sementara dia justru bertolak-belakang dengan apa yang dia serukan, maka da’i semacam itu tidak akan memberikan bekas pengaruh apa-apa. Dakwahnya pun tidak akan diterima.

Hal itu karena Allah tidak menjadikan keberkahan di dalam dakwahnya. Cobalah perhatikan para da’i yang ikhlas, buah kebaikan apa saja yang muncul dari dakwah mereka, padahal mereka sendirian sementara mereka memiliki banyak lawan/musuh? Seperti halnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta murid-muridnya. Demikian pula semisal Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama yang lainnya.

Kemudian, lihatlah begitu banyaknya da’i pada hari ini [jaman sekarang] dan begitu banyaknya jama’ah dakwah namun betapa sedikit pengaruh/bekas yang mereka tinggalkan dan betapa sedikit manfaat yang mereka berikan. Supaya anda sadar bahwa sesungguhnya yang menjadi ibroh/patokan dan penilaian adalah kualitas, bukan sekedar kuantitas.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/beberapa-nasihat-emas-syaikh-shalih-al-fauzan/